Iklim bisnis di Indonesia sangat berbeda dengan iklim bisnis di Negara-negara barat (Eropa, Amerika, dsb). Sebagai Negara ketimuran, Indonesia masih menjunjung tinggi “kepercayaan” dan “toleransi”.

Ini jelas berbeda sekali dengan budaya barat yang mulai minim toleransi. Semuanya harus sesuai prosedur dan pebisnis di barat sangat memenuhi standar yang telah mereka tetapkan untuk bisnis mereka.

Ada sebuah kisah inspiratif dari seorang pengusaha kaya yang memiliki sebuah kebun kelapa sawit yang luas di antara pemukiman warga lokal yang masih teguh menjunjung tinggi adat istiadat mereka.

Untuk meningkatkan penjualan dan profit perusahaan, si pengusaha ini menyewa konsultan dari Amerika untuk meninjau bisnisnya. Konsultan ini pun dibayar mahal oleh si pengusaha.

Si konsultan pun mulai menelusuri kebun milik si pengusaha. Ia sangat kaget ketika ia mengetahui bahwa kebun tersebut tidak memiliki pagar pembatas. Ia justru lebih kaget lagi ketika ia mengetahui bahwa setiap hari, banyak penduduk suku lokal yang memetik sawit untuk mereka bawa pulang demi kebutuhan sehari-hari.

Tak berpikir lama, ia segera memerintahkan karyawan di perkebunan kelapa sawit tersebut untuk membangun pagar tinggi agar penduduk lokal tidak bisa masuk lagi ke dalamnya. Ia juga merebut dan menyita kembali buah sawit yang telah diambil warga yang disimpan dalam gudang warga.

Akibatnya, terjadilah konflik antara perusahaan ini dengan warga lokal. Warga lokal merasa tersinggung dan beranggapan bahwa si pengusaha telah menindas mereka dengan seenaknya memakai lahan leluhur mereka untuk berkebun tapi mereka sendiri tidak boleh menikmati hasil perkebunan tersebut sedikit pun. Kepala suku pun beranggapan bahwa si pengusaha telah melanggar kesepakatan tidak tertulis yang telah mereka setujui di awal.

Akhirnya terjadilah kerusuhan sehingga bentrok pun tidak terhindar. Kebun sawit milik pengusaha pun ikutan rusak karena dibakar warga. Bukannya jadi untung, malah buntung.

Si pengusaha pun menyalahkan si konsultan yang tidak menghargai “kepercayaan” dan “toleransi” yang telah ia jalin selama bertahun-tahun dengan suku lokal. Tapi konsultan pun berkelit bahwa kelakuan warga lokal menurut pengalaman dan ilmu bisnis yang ia anut, jelas menimbulkan kerugian. Berapa  kwintal sawit yang bisa ia hemat tiap tahunnya jika warga lokal tidak mengambilinya setiap hari?

Usut punya usut, ternyata si pengusaha ini memiliki kesepakatan tidak tertulis dengan kepala suku setempat. Si pengusaha diizinkan oleh kepala suku untuk mendirikan perkebunan di atas tanah leluhur mereka dengan syarat warga setempat boleh menikmati hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari mereka dengan gratis.

Si pengusaha pun tidak masalah selama buah sawit yang diambil warga tidak menimbulkan kerugian baginya. Toh jumlah sawit yang mereka ambil hanya mengurangi sebagian kecil keuntungan yang dia peroleh. Akhirnya dijalinlah kesepakatan tersebut selama bertahun-tahun dengan berlandaskan “percaya” dan “toleransi”.

Tapi ulah si konsultan justru menghancurkan semuanya. Si pengusaha harus mengalami masalah dengan penduduk lokal, kebunnya terlanjur dibakar, belum lagi ia masih harus menanggung fee untuk bayaran si konsultan.

Poin di sini, banyak sistem bisnis dari luar negeri sana ternyata belum tentu cocok jika diterapkan di Indonesia. Indonesia masih menganut sistem kepercayaan dan memiliki toleransi cukup tinggi. Berbeda dengan sistem bisnis di Amerika dan Eropa.

Hal serupa juga banyak dikeluhkan oleh orang tua yang memiliki bisnis keluarga. Anak mereka disekolahkan ke luar negeri untuk belajar bisnis. Tapi ketika mereka kembali ke Indonesia dan memegang perusahaan milik orang tuanya justru hancur.

Karena pendidikan bisnis di luar, sangat berbeda dengan Indonesia. Di sana serba praktis dan “to the point”. Di sini harus basa-basi dulu untuk mengambil hati lawan bisnis kita. Di sana orang mau ngutang ke supplier harus kasih jaminan, di sini tidak bisa.

Intinya, kita boleh belajar bisnis setinggi mungkin hingga ke luar negeri. Tapi untuk penerapannya, kita tetap harus memilih-milih dan menyesuaikan dengan kondisi bisnis di Indonesia. Ada ilmu-ilmu yang baik dan jika diterapkan mampu melejitkan bisnis kita. Tapi ada juga ilmu-ilmu yang tidak cocok diterapkan untuk bisnis di Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here